Dulu, senjata teroris mungkin identik dengan bom dan senapan. Kini, ada ancaman baru yang jauh lebih canggih dan meresahkan: Kecerdasan Buatan (AI). Otoritas pemberantasan teroris global telah membunyikan alarm. Organisasi ekstremis, dari kelompok jihadis seperti ISIS dan al-Qaeda hingga neo-Nazi seperti Base, kini tak lagi hanya memanfaatkan internet, tetapi telah mengintegrasikan AI dan teror ke dalam setiap lini aksi mereka, mulai dari perekrutan anggota baru yang cerdik hingga perencanaan finansial yang sulit dilacak.
Ini adalah pergeseran medan perang yang drastis. Kelompok-kelompok ini, yang sebelumnya sudah mahir menggunakan alat digital untuk merekrut, mendanai secara sembunyi-sembunyi melalui kripto, mengunduh cetak biru senjata untuk pencetakan 3D, dan menyebarkan keahlian mereka, kini menemukan sekutu baru yang revolusioner dalam bentuk AI.
Efisiensi Operasional yang Mengkhawatirkan
Seiring dengan semakin banyaknya sumber daya open source yang tersedia, upaya kontraterorisme menjadi semakin rumit. Sumber yang mengetahui upaya kontraterorisme pemerintah AS mengungkapkan kekhawatiran besar di kalangan lembaga keamanan. Mereka percaya bahwa AI membuat kelompok teroris menjadi jauh lebih efisien dalam perencanaan dan operasi mereka.
Meski FBI menolak berkomentar, Adam Hadley, pendiri dan direktur eksekutif Tech Against Terrorism—sebuah pengawas kontraterorisme daring yang didukung PBB—mengamini kekhawatiran ini. “Penelitian kami meramalkan dengan tepat apa yang kami amati: teroris menggunakan AI untuk mempercepat aktivitas yang ada daripada merevolusi kemampuan operasional mereka,” kata Hadley, dikutip dari The Guardian pada Selasa (8/7).
Hadley menambahkan bahwa risiko di masa depan mencakup pemanfaatan AI untuk pengembangan aplikasi dan situs web yang cepat. Yang perlu digarisbawahi, AI generatif tidak menciptakan ancaman dari nol, melainkan menuangkan bahan bakar ke api yang sudah ada, membuat bahaya yang familiar menjadi lebih membara.. Namun, “penguatan” inilah yang patut diwaspadai, karena membuat kemampuan mereka menjadi lebih mematikan.
ChatGPT dan Propaganda “Cerdas”
Bayangkan ini: propaganda ISIS yang sebelumnya hanya berupa tulisan atau gambar diam, kini dapat diubah menjadi siaran audio yang dihasilkan secara otomatis atau kumpulan gambar yang diciptakan oleh AI dalam jumlah besar. Hal inilah yang sudah mulai dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti ISIS. Mereka menggunakan alat AI seperti chatbot OpenAI, ChatGPT, untuk meningkatkan propaganda rekrutmen di berbagai platform dengan pendekatan yang kreatif dan menyeluruh.
Dengan nada khawatir, Moustafa Ayad, eksekutif direktur Institute for Strategic Dialogue untuk Afrika, Timur Tengah, dan Asia, memaparkan, ‘Sederhananya, buletin berita ISIS kini dapat dikonversi menjadi format audio, memperluas jangkauan pesan mereka. AI juga memperkuat kemampuan mereka terkait propaganda dan distribusi.” Hal ini menyebabkan AI dan teror memperumit masalah ancaman keamanan publik, karena konten ekstremis dapat diproduksi dengan lebih cepat, beragam, dan disesuaikan untuk audiens yang lebih luas.
ISIS Merangkul AI: Dari “Penasihat Digital” hingga “Kekuatan Perang”
ISIS tidak lagi menyembunyikan ketertarikannya pada AI. Mereka sekarang secara langsung mengakui kesempatan untuk memanfaatkan apa yang disuguhkan oleh teknologi ini, bahkan menyediakan “Panduan Alat dan Risiko AI” kepada para pendukungnya melalui saluran yang aman.
Dalam salah satu publikasi propaganda terbarunya, ISIS dengan gamblang menjelaskan tentang masa depan AI dan bagaimana organisasi ini perlu mengintegrasikannya dalam kegiatan operasional mereka. Mereka bahkan menyatakan, “Bagi setiap individu, terlepas dari bidang atau keahlian mereka, memahami nuansa AI menjadi sangat diperlukan.” Lebih lanjut, mereka menyebut AI dan teror bukan hanya sekadar teknologi, tetapi “juga menjadi kekuatan yang membentuk perang.” Penulis ISIS lainnya bahkan menjelaskan bahwa layanan AI bisa menjadi “penasihat digital” dan “asisten peneliti” bagi setiap anggota, mempercepat proses pembelajaran dan perencanaan.
Ini bukan hal baru bagi kelompok teroris. Mereka senantiasa berada di garda terdepan dalam mengoptimalkan ruang digital untuk perkembangan mereka. Ingatlah bagaimana pada Juni 2014, ISIS menyiarkan secara langsung gambar dan pesan eksekusi massal mereka saat menyerbu Mosul. Respons global, termasuk upaya bersama pemerintah dan Silicon Valley, untuk menindak akun-akun ISIS di dunia maya memang masif. Namun, dengan AI, tantangan ini naik ke level yang sama sekali baru. Badan intelijen Barat kini harus lebih cermat mengawasi penggunaan kripto, aplikasi pesan terenkripsi, situs cetak 3D senjata, dan kini, AI, sebagai medan pertempuran siber yang terus berkembang.
Apakah dunia siap menghadapi terorisme yang semakin “cerdas” ini? Pertanyaan ini menjadi urgensi global. Baca berita lain di sini.

