Infeksi Virus Lyssavirus Kelelawar Australia

Infeksi Virus Lyssavirus Kelelawar

Kabar duka menyelimuti Australia setelah seorang pria berusia 50-an meninggal dunia akibat infeksi virus lyssavirus kelelawar Australia (ABLV), sebuah penyakit yang sangat mirip dengan rabies dan tergolong langka. Kematian tragis ini dikonfirmasi oleh pejabat kesehatan pada tanggal 3 Juli, mengguncang publik dan menyoroti bahaya interaksi dengan satwa liar yang terinfeksi.

Pria yang tidak disebutkan identitasnya ini, berasal dari wilayah New South Wales utara, dilaporkan digigit oleh kelelawar pembawa virus mematikan tersebut beberapa bulan sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir. “Kami menyampaikan belasungkawa tulus kepada keluarga dan teman-teman pria tersebut atas kehilangan tragis mereka,” demikian pernyataan resmi dari NSW Health. “Meskipun sangat jarang melihat kasus virus lyssavirus kelelawar Australia, tidak ada pengobatan yang efektif untuk itu.”

Ancaman Diam dari Dunia Kelelawar

Virus lyssavirus kelelawar Australia ini merupakan kerabat dekat dari virus rabies yang jauh lebih dikenal, namun bukan berasal dari spesies kelelawar yang umum di Australia. Penularannya terjadi melalui air liur kelelawar yang terinfeksi, biasanya melalui gigitan atau cakaran. Gejala yang muncul pada manusia umumnya sangat parah, mirip dengan rabies, dan seringkali berujung pada kematian.

Kasus kematian ini menambah daftar panjang kasus fatal akibat ABLV di Australia. Sejak pertama kali diidentifikasi pada tahun 1996, hanya ada tiga kasus infeksi manusia sebelumnya oleh virus ini, dan semuanya berakhir tragis. Fakta ini menggarisbawahi betapa berbahayanya virus ini meskipun frekuensi penularannya sangat rendah.

Kekhawatiran dari Para Ahli Satwa Liar

Trish Paterson, seorang pengasuh satwa liar berpengalaman lebih dari 30 tahun yang mengelola Klinik Kelelawar Australia dan Pusat Trauma Satwa Liar di Queensland, mengungkapkan keprihatinannya. “Begitu Anda tertular, Anda hampir mati dan itulah sebabnya kami sebagai pengasuh melakukan vaksinasi,” ujarnya kepada ABC News, menyoroti betapa mematikannya virus ini.

Lebih lanjut, Paterson menyuarakan kekhawatirannya tentang penanganan kasus pria tersebut. “Jika dia menerima perawatan [tepat setelah gigitan] dan tetap tertular virus, itu akan sedikit mengkhawatirkan,” katanya. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penanganan pasca-gigitan kelelawar yang terinfeksi ABLV, atau apakah ada faktor lain yang menyebabkan virus tetap berkembang dalam tubuh korban.

Pentingnya Kewaspadaan dan Pencegahan

Meskipun kasus ABLV pada manusia sangat jarang, insiden ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk selalu waspada terhadap satwa liar, terutama kelelawar. Para ahli kesehatan dan satwa liar selalu menyarankan untuk tidak mendekati atau menyentuh kelelawar, baik yang terlihat sakit atau terluka, maupun yang tampak sehat. Jika seseorang tergigit atau tercakar kelelawar, sangat penting untuk segera membersihkan luka dengan sabun dan air mengalir selama beberapa menit, lalu mencari pertolongan medis secepatnya untuk mendapatkan penanganan pasca-paparan (Post-Exposure Prophylaxis/PEP) yang mungkin diperlukan.

Kematian tragis ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Perlindungan diri dari potensi penularan penyakit dari satwa liar adalah kunci. Dengan meningkatnya interaksi antara manusia dan habitat satwa liar, risiko munculnya penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia) juga semakin tinggi. Oleh karena itu, edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai bahaya ini menjadi sangat krusial untuk mencegah insiden serupa di masa mendatang. Berita terkini samsboatdock

Infeksi Virus Lyssavirus Kelelawar Australia